Rabu, 30 Oktober 2013

sumpahku padamu wahai garuda!!

“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya.
Indonesia sejak dulu kala tetap di puja puja bangsa “

Malam ini aku menangis, airnya terasa lambat mengalir membasahi tubuhku. Tanah air beta, begitulah seorang pahlawan dengan loyalitas tinggi memperjuangkan negara ini. Setelah sebelumnya bangsa ini di adu dombakan oleh rutinitas politik yang nampak tidak elok akhirnya mataku dibuka paksa media untuk melihat pahlawan indonesia.

Timnas U-19, pembalap internasional, bulu tangkis, olimpiade-olimpiade, budaya-budaya, semangat para murid dan guru, para dokter yang juga menyumbangkan keringatnya, mereka semua jarang sekali ku tengok. Bersimbah darah perjuangan, air mata mereka laksana ibu pertiwi yang selalu menerangi bangsa ini.

Lama sekali aku berada di zona jahiliyahnya politik, kekayaan dan keindahan indonesia tertutupi laksana ibu yang tidak dianggap anaknya. Akhir-akhir ini media kerap memberi gambaran bahwa “kita harus membenci indonesia” karena korupsi, nepotisme, konsfirasi, ketidakadilan, kebobrokan moral, pepengan suku, bentrok masa, demo dan carut marut lainnya.

Tapi justru beberapa lagu mengingatkan kita “ayoo berjuang, ayoooo lakukan dan buktikan tumpah darahmu untuk tanah air ini”, liriknya seolah menarikku, mendekap dan menyelimuti setiap kebencianku dan berubah menjadi cintaku pada tanah ini.

Aku terlalu gusar dengan perhelatan pejabat yang brengsek, dan aku lupa behwa sisi lain dari mereka sedang berjuang mengatasi permasalahn politik untuk mensejahterakan manusia, mereka mulia tapi kita tidak melihatnya – aku juga terlalu bising mendengar jeritan kelaparan rakyat jelata yang mengais-ngais makanan di lorong-lorong bekas pembuangan sampah restoran, namun aku menghiraukan guru-guru yang mengajar dengan perjalanan berjam-jam dan dengan bayaran seadanya namun dia tetap tersenyum – dan sialnya aku tidak malah miris melihat peperangan, demo, bentrok sehingga aku lupa para tenaga kesehatan yang selalu mengorbankan dirinya untuk menyembuhkan rakyat.


Barangkali semua orang pun hanya memperdulikan masalah, dan tidak tersentuh untuk sama-sama berjuang demi tanah air.  – kalau begitu aku harus memulainya sekarang, perjuangan untuk negeri ini – sumpahku padamu wahai garuda J

Jumat, 11 Oktober 2013

Untuk pertama kalinya aku membicarakan politik dalam tulisanku

Hari ini aku kembali menjamah rutinitasku yang selama ini ku tinggalkan; beberapa tugas seolah membatasi ruang kreatifitasku dalam menulis; sabarlahh... mahasiswa baruu. Haha

Kini saatnya aku menyusun setiap huruf dan kata yang berserakan dikampus dan pekarangan baja aspalnya. Kota baru yang aku jejali ini mulai merespon tindak-tandukku; sejak kemarin atmosfer perdebatan sudah mulai memenuhi waktu membacaku.

57 hari tepatnya aku berada disini, diruangan penuh dinding berlapis beton, kaca-kaca besar, serta jalanan aspal tanpa rumput hijau. Bukan tanpa cerita, aku menjalani hari-hariku sebagai mahasiswa baru jurusan ilmu politik dengan penuh ilusi. Sebaiknya ku wali dari mana semua ini? Dari semenjak orang tuaku meninggalkanku disini sendiri dan kemudian aku menangis? Atau Orientasi Mahasiswa yang membuat kepalaku stress? Atau dari mana sebaiknya aku bercerita?

Oh ya, kuceritakan apa yang perlu dunia catat tentang diriku saja. Seperti biasa, kisahnya akan saya buat fiksi namun kerap terjadi di lingkungan liberal ini.

Perlu pembaca ketahui kalau teman-teman kelasku tidak seperti yang dulu ku harapkan sejak bertekad untuk masuk kesini. Dulu ku pikir akan mendapatkan teman-teman yang kritis, suka berdiskusi dan menjadi lawan debatku dalam setiap forum-forum. Namun realita menjungkir balikkan segala pengharapanku selama ini, sialaaaaan.

Bayangkan sebuah kisah baru dalam hidupmu dan yakinlah. Pusatkan pikiranmu hanya pada saat-saat engkau memperoleh apa yang kau idamkan. Kekuatan ini akan membantumu meraih yang kau inginkan.

Begitulah pepatah para ahli bijak yang ku temukan semasa menjadi santri di garut dahulu, tapi nyatanya hal itu kini tidak berarti apa-apa buatku. Kecawa bukan main ketika tahu bahwa budaya diskusi di kampus ini mulai menghilang beberapa tahun terakhir, mungkin angkatanku yang paling paraah.

“mereka tidak mau berjalan? Kalau begitu biarlah mereka berdiam diri saja untuk waktu yang lama.”pikirku dalam hati mengomentari teman sekelasku yang tidak peka dengan keadaannya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Politik. Akhir-akhir ini kita disikbukkan dengan banyaknya perdebatan senior tentang dunia islam terutama liberalisme dan fundamentalisme, atau qodariyat vs jabariyat.

Tapi perdebatan itu lebih baik daripada teman-temanku yang memilih kuliah pulang-kuliah pulang, apa mereka mau menghabiskan uang 3 juta dengan hanya duduk 5 jam di ruangan ber-AC dan kemudian pulang ke rumah? Apa ini yang namanya mahasiswa? Bukannya mau mengalahkan UI?

“orang yang tidak mau memilih dianggap mati di mata tuhan, meski dia masih bernafas dan berkeliaran di jalan-jalan.” Begitulah emosiku yang tidak bisa terluapkan sama sekali, kekesalan yang semakin hari menjadi-jadi. Ingin rasanya aku merubah keadaan, tapi siapakah aku?  selama aku disini (di kelas A jurusan Politik) mengapa aku tidak menemukan seorangpun yang mau membantuku mengusahakan kemajuan? Aku hanya seorang anak muda, sendirian pula. Apa pentingnya diriku?" Ujarku yang berusaha menghakimi diriku saat itu.

“Menurutmu apa pentingnya matahari yang bergerak sendirian di langit sana? Apa pentingnya gunung-gunung yang menjulang di tengah-tengah lembah sana? Apa pentingnya kehadiran pos satpam yang 12 jam dilalui ratusan kendaran para mahasiswa? Tapi justru merekalah yang menyeimbangkan siklus kehidupan ini, satu dari mereka tidak ada maka kau tidak akan berada disini” suara itu jelas ku dengar, sore itu di ruangan teman-temanku sudah pulang semuanya; tentu aku tidak tahu dari mana asal suara itu.

Tanpa diduga suara itu muncul lagi, kali ini aku yakin hatiku sedang menasehati diriku “kalau aku menyempatkan diri memikirkan alasanny, pada akhirnya aku akan merasa tak sanggup mewujudkan apa yang aku inginkan.”

Hari itu akhirnya ku yakinkan diriku untuk melakukan perubahan, bismillah. Hingga akhirnya hari esok tiba, setelah pelajaran pertama selesai seseorang di sudut sana tidak ikut keluar dan pergi ke kantin, tumben bangett.  Ku coba untuk menegurnya, ada apa bro? (mencoba untuk mencairkan suasana).

“Tidak apa, aku hanya tidak mempunyai pekerjaan.” Sahut temanku yang berinisial R itu.

“Kalau begitu beejarlah pada sesuatu. Pada saat ini, banyak orang berhenti menjalani kehidupan. Mereka tidak marah, juga tidak berseru-seru memprotes; mereka sekedar menunggu waktu berlalu. Mereka tidak menerima tantangan-tantangan kehidupan, jadi kehidupanpun berhenti memberikan tantangan pada mereka. Kau juga mengambil resiko yang sama; tunjukan reaksi, hadapi hidup,tapi jangan pernah berhenti hidup.” Kataku so bijak dihadapannya.

“Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan diskusi liberal dan fundamentalis, kakak kelas seolah keren di mata mahasiswa baru ketika memperdebatkan itu. Tapi aku tanya Untuk apa kita belajar politik? Jika orang orang dikampus memperdebatkan masalah islam?” tanya dia, sepertinya aku tidak sendiri. Tuhan memberikan orang yang nantinya dapat menemaniku merubah kelas ini, setidaknya ada harapan setelah kemarin kegelapan menghantuiku.

“Aku mengerti, inilah yang kemarin ku pikirkan. Ada beberapa potong rel yang puutus dan kereta akhirnya keluar dari relnya, seperti itulah pembelajaran hari ini. Seharusnya kita fokus untuk merubah bangsa ini! Mempelajari politik untuk kemajuan bangsa ini. Cukuplah islam didiskusikan diluar kampus.” Jawabku yang sejak tadi setuju dengan dia.

“Tapi aku juga merasa minder mempelajari politik, korupsi merajalela dan koruptor semakin banyak. Adakah cara untuk menyembuhkan negeri ini? Aku yakin tidak ada.” Rasa pesimis itu percis seperti yang dikemukakan Wina di beberapa smsnya.

Aku diam tanpa suara, sekarang aku belum bisa menjawabnya. Setumpuk teori ada di kepalaku namun belum ku pikirkan bagaimana jalan keluar bangsa ini, aku bisa mengatakan “Ini hanya permasalahan orangnya saja, suatu saat kita tidak boleh seperti itu.” Tapi kupikir kembali kalau dia tidak akan puas dengan jawaban sederhana itu.

“Kenapa tuhan membuat negeri kita seperti ini? Bukankah ulama masih banyak? Apa yang salah dari Indonesia sehingga dia memberikan azab yang tidak ada solusinya?” pertanyaannya semakin banyak,membuatku sulit untuk menjawa mana dulu yang di prioritaskan.

“Terakhir tolong jawab pertanyaanku, kenapa kau berjuang untuk bangsa ini? Apa yang dia berikan padamu? Bukankan negara sudah dipenuhi pengusaha-pengusaha yang rakus? Bukankah mereka tidak akan menilaimu kecuali dari hartamu? Apa yang kau bela? Sudah tidak adalagi cara kawan.” Pertanyaannya semakin mengarah dekat dijantungku, tanpa ada jawaban kemudian dia meninggalkanku dan sekarang keadaannya terbalik, aku merenungkan beberapa pertanyaannya. Sialaaan, dia malah membuatku pesimis.

Akhirnya pada hari berikutnya aku jawab serinci mungkin, karena dikala malam tuhan selalu mengajariku banyak hal bahkan menunjukan padaku apa yang seharusnya ku katakan dan ku ucapkan. perhatikan ini.....

Kenapa ada korupsi?

Tuhan pasti sudah berusaha menggunakan cara-cara lain, tapi ternyata kita tidak mau mendengar. Kita sudah terlalu terbiasa dengan hidup kita, dan tidak mau lagi membaca sabda-sabdanya. Maka korupsi adalah salah satu cara membuat kita berada di posisi sama yaitu korban.
Dimanakah dia menuliskan sabda-sabdanya?
Di dunia sekitar kita, kalau engkau memperhatikan apa-apa yang terjadi didalam hidupmu, setiap hari akan kau temukan dimana dia menyembunyikan sabda-sabdanya dan kehendaknya. Cobalah melakukan perintahnya; untuk itulah engkau diberikan kehidupan di dunia ini.
Aku tidak ingin membicarakan perbedaan-perbedaan kita, aku lebih tertarik pada kesamaan kita. Tragedi ini telah menyatukan kita dalam satu rasa; putus asa. Kalian dan aku sama-sama rakyat biasa, tapi kalian juga bisa bertindak sebagai penjuang. dan pejuang selalu tahu apa yang layak diperjuangkan. Dia tidak akan maju perang demi hal-hal yang bukan urusannya, dan dia tidak membuang waktu untuk provokasi-provokasi.

Pejuang juga bisa menerima kekalahan. Dia tidak menganggap enteng kekalahan,  juga tidak berusaha mengubahnya menjadi kemenangan. Dia menelan kepahitan akibat kekalahan; dia menderita melihat sikap masa bodoh dan putus asa karena kesepian. Namun setelah semua itu berlalu, dia akan bangkit kembali dan memulai segalanya dari awal. Pejuang tahu bahwa pejuang terdiri atas banyak pertempuran; dan dia akan terus maju.
Kau tanya kenapa aku membela negri yang pincang dan pemerintah yang busuk ini, aku jawab,
Aku mesti menunjukan kepada kalian, semua temanku, orang tuaku, guru dan juga para penguasa  yang ada disana bahwa ada alasan untukku mempertahankan bangsa ini. Bukan demi mempertahankan sebuah nama kampus, jalanan macet, ataupun istana presiden yang sudah dibangun mewah. Aku  mesti menghadapi koruptor karena aku mesti memberi teladan bagi semua orang yang akan ikut berjuang bersamaku serta keturunanku yang akan ikut memperjuangkan masa depan bangsa ini jika aku harus meninggal sebelum kemenangan tiba.

Aku melakukannya untuk menunjukan pada kalian teman-temanku, bahwa masih ada masa depan. Dan kita akan melakukannya untuk menunjukan pada rakyat indonesia bahwa masa lalu sudah lewat.








Rabu, 09 Oktober 2013

The Immortal of War



Hidup adalah misteri dan sampai kapanpun akan tetap menjadi misteri, tanpa henti manusia berusaha menelaah setiap peristiwa yang terjadi dan kemudian membangun teori dengan anggapan paling benar. Namun waktu mengajari manusia bahwa kebenaran tidak abadi, teori baru meruntuhkan teori lama seperti halnya revolusi meruntuhkan sebuah dinasti.

Apabila ditarik kebelakang, dengan seksama kita akan menemukan banyak pertentangan antara satu individu dengan individu lainnya, kelompok dengan kelompok lainnya, bahkan antara peradaban sekalipun. Seperti halnya Abad Pertengahan dan Renaisans yang jelas kontradiktif (meskipun saat itu orang-orang tidak menyadarinya).

Sekitar 1997-1822 SM Ibrāhīm [ʔibraːˈhiːm] dari Mesopotamia menanyakan siapa tuhan yang selama ini disembah manusia. Perjalanan panjang mengantarkan dirinya pada pembelajaran mengenal tuhan secara rasional setelah sekian lama – sejak Adam – manusia hanya dikenalkan pada Tuhan melalui dogma dan kepercayaan yang berpangkal pada hati.  Beberapa kisah Ibrahim atau yang dikenal Abraham dalam alkitab menunjukkan karakter rasionalitas yang kuat pada dirinya, salah satu diantaranya adalah perdebatan dengan ayahnya[1] , ibrahim – dalam kalimatnya “Tanyakan saja pada berhala yang paling besar itu, siapa yang menghancurkan mereka (patung lainnya)?” –mengiindikasikan bahwa rasionalitas adalah hal yang penting.

Namun jauh sebelum kisah Ibrahim menginspirasi para filsuf untuk mempertanyakan segala sesuatu dengan akal, Kisah Adam[2] tidak kalah menarik minat para pengkaji filsafat. Jostein Gaarder[3] dalam buku Cicelia dan Malaikat Ariel – pemikiran filsafat yang dituangkan dalam novel – memandang Adam ketika di surga adalah seorang remaja yang memiliki rasa penasaran tinggi sehingga berujung untuk menocoba memakan buah yang konon dilarang oleh tuhan. Dalam hal ini Gaarder ingin menyampaikan bahwa adam mengikuti akalnya dibanding iman pada tuhan, terlepas salah ataupun benarnya secara dogma agama namun hikmah yang kemudian diambil adalah motivasi belajar dan mencari kebenaran lewat akal sangat diperlukan.

Mayoritas agama pada umumnya menempatkan hati sebagai instrument utama mengenali hakikat Tuhan dan alam semesta, pertentangan yang kemudian menjadi perhelatan akbar dan dikenal sebagai peperangan abadi – The Immortal of War – sejatinya tidak dapat dimenangi oleh siapapun namun secara gradual tetap diperjuangkan hingga saat ini dan di bahas dalam setiap displin ilmu. Misalnya dalam sosiologi, kita mengenal teori tindakan sosial yang dikemukakan Max Weber[4] dan teori fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim[5]. Pemikiran keduanya sampai saat ini masih banyak diperdebatkan. Didalam agama islam sendiri terdapat perdebatan panjang yang tidak berkesudahan terjadi antara Qadariyat dan jabariyat, atau didalam Ilmu Politik misalnya kita dikenalkan kedalam dua bentuk negara yang sangat bertolak belakang yaitu antara Teokrasi  dan Demokrasi. Sedangkan dalam skala yang lebih besar dua peradaban yang bertolak belakang dalam sejarah yaitu Abad Pertengahan dan Renaisans merupakan contoh besar dari perdebatan klasik antara Idealis dan Rasionalis.

Teori tindakan sosial misalnya, terbentuk ketika awal mula Peradaban Renaisans[6] sehingga manusia secara individu dapat menentukan nasibnya bahkan manusialah yang menentukan sistem masyarakat. Pemikiran ini dalam islam dikenal dengan faham Qadariyat Yaitu aliran atau paham teologi yang percaya bahwa segala tindakan dan perbuatan manusia itu terjadi tanpa ada campur tangan Tuhan, artinya manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.  Baik tindakan sosial ataupun faham qadariyat, keduanya memiliki sat kesamaan yang menempatkan akal pada urutan lebih tinggi sehingga manusia tanpa interfensi tuhan ataupun sistem masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri. Dampak dari hal ini dalam ilmu politik adalah terbentuknya sebuah bentuk negara yang demokrasi dimana hak asasi manusia dijunjung tinggi.  Dan dalam skala yang lebih besar, di zaman Renaisansterdapat pandangan positivis yaitu manusia percaya bahwa dirinya dapat memahami alam semesta serta dapat melakukan apapun yang mereka inginkan.

Di kubu yang bersebrangan, dimana hati atau Qalb menjadi pijakan dalam memahami segala sesuatu tentulah selalu berlawanan dengan golongan-golongan diatas. Fakta sosial yang merupakan teori dari Durkheim memberikan pemahaman bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh nila-nilai yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali memerankan fungsinya sebagai manusia dipaksa melakukan sesuatu. Seperti halnya faham Qadariyat, Asy-Syarastani[7] menegaskan bahwa  paham al-Jabr berarti menghilangkan  perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Sama halnya tindakan sosial dan qadariyat, konsekuensi logis dari fakta sosial dan faham jabariyat adalah sebuah bentuk negara yang yang dinamakan Teokrasi atau negara berupa hadiah dari tuhan dan harus tunduk pada perintah tuhan. Hal ini terjadi di abad pertengahan ketika Romawi kalah perang dan meminta bantuan pada Gereja sehingga saat itu kedudukan gereja adalah diatas segalanya dan semua warga negara harus tunduk pada kekuasaan Paus yang merupakan utusan Tuhan.

Perhelatan akbar atau peperangan abadi ini yang menjadi warisan dari setiap generasi, dunia seolah terbagi dua : sebagian percaya bahwa Tuhan telah mengatur seluruh kehidupan melalui peradaban, negara, masyarakat serta lingkungan. Semuanya merupak satu kesatuan yang berjalan seperti halnya sistem tubuh manusia dimana setiap orang mempunyai peran masing-masing dan orang itu tidak mempunyai pilihan selain melakukan perannya. Namun sebagian yang lain berada di posisi yang berlawan dengan paham fosotivisme, percaya bahwa tuhan tidak memiliki hak menginterfensi siapapun.

Meskipun banyak tokoh yang mencoba mendamaikan kedua kubu ini, namun pada kenyataannya kedua kubu ini tetap Survive dengan contoh-contoh yang berbeda dari masa ke masa namun memiliki kesamaan apabila diruntutukan dari segi sejarah dan kesamaan pemahaman. Ilmu pengetahuan misalnya yang diprediksi dapat menyatukan kedua kubu, seperti halnya dikatan Einstein “Religion without science is lam , Science without religion is blind” tetapi tidak dapat dipungkir dua kubu ini seolah menutup mata antara satu dengan yang lainnya.

Realita sederhana, akhir-akhir ini pesantren-pesantren yang memiliki faham fundamental[8] melarang santrinya untuk menjadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Perintah ini bukan tanpa alasan, melainkan kultur yang dibentuk di dalam Perkuliahan juga lingkungan adalah tardisi diksusi yang menempatkan akal dalam porsi lebih dibandingkan aspek spiritual. Tentu hal ini merupakan salah satu dari sekian dampak  kronologis sejarah yang panjang mengenai perhelatan akbar atau peperangan abadi diatas.

Golongan tengah pun pada hakikatnya tidak benar-benar berada di garis tengah atau angka 3 dari angka 1 sampai 5, Telcot Persons misalnya yang mencoba menggabungkan dua pemahaman bertolak belakang antara Max Weber dan Emile Durkheim pada akhirnya cenderung memihak pada teori fakta sosial milik Durkheim.

Dewasa ini, menggabungkan kedua kutub yang seling bertentangan bukanlah solusi utama, karena tidak ada cara untuk menggabungkan air dan minyak atau air dan api. Ir. Soekarno sepertinya sejatinya menempatkan Indonesia untuk menjadi negara non blok, prinsipnya bukna berarti tidak mengikuti keduanya[9] melainkan mengambil kebaikan dari setiap kebenaran yang ada. Dalam hal ini perkataan Aristhoteles akan menjelaskannya: Amicus Plato, sed magis Amica yang artinya “Plato Kukasihi, tapi aku lebih mengasihi kebenaran”.

Ahmad Dahlan yang merupakan tokoh pahlawan indonesia juga pendiri organisasi Muhammadiyah telah meralisasikan solusi ini jauh sebelum indonesia merdeka. Dia mengambil ajaran yang menurutnya baik serta relevan, tidak peduli madzhab manapun. Cara inilah yang kemudian diadopsi oleh banyak golongan tengah, meskipun dikemudian hari terdapat pandangan miring yang mengatakan bahwa solusi ini juga cenderung pada salah satu kubu.
Namun sebagaimana dihadapkan pada statement pembuka, hidup adalah misteri dan perhelatan ini merupakan peperangan abadi yang tidak bisa dimenangkan namun tetap harus diperjuangkan. Bagaimanapun solusinya saat ini, tidak ada kebenaran abadi dari sebuah teori karena sejarah senantiasa membantah satu sama lain, namun bukan berarti mereka semua salah. Menurut socrates kebenaran dan keadilan itu adalah relatif.


[1] Ibrahim menghancurkan seluruh berhala dan menyisakkan satu yang terbesar diantara yang lainnya.

[2] Adam yang diceritakan memakan “Buah Terlarang” diusir dari surga bersama Hawa ke bumi
[3] The Best Author of Shopie’s World (Norwegian : Sofies Verden),1991, Norwegian: Berkley Books.
[5] The Rules of Sociological Method                                                                                                   
[6] Zaman Renaisans adalah zaman kelahiran-kembali (Renaissance, bahasa Perancis) kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M.
[7] Al-syahrastani,op,cit,hlm.85
[8] Pandangan keras yang mencoba melestarikan pokok-pokok atau prinsip ajaran terdahulu.
[9] Amerika Serikat dan Uni Soviet.