Minggu, 08 Juni 2014

orang yang tidak mau memilih dianggap mati di mata tuhan, meski dia masih bernafas dan berkeliaran di jalan-jalan

karena sudah lama tidak mengurus blog, tapi bukan berarti tidak lagi produksi catatan, saya lebih senang di Facebook. seperti hanya catatan ini sudah saya posting agak jauh jauh hari. namun baru sekarang di tuangkan dalam blog. 

https://www.facebook.com/notes/luthfi-hasanal-bolqiah/orang-yang-tidak-mau-memilih-dianggap-mati-di-mata-tuhan-meski-dia-masih-bernafa/10151712773459366

Hari ini aku kembali menjamah rutinitasku yang selama ini ku tinggalkan; beberapa tugas seolah membatasi ruang kreatifitasku dalam menulis; sabarlahh... mahasiswa baruu. Haha

Kini saatnya aku menyusun setiap huruf dan kata yang berserakan dikampus dan pekarangan baja aspalnya. Kota baru yang aku jejali ini mulai merespon tindak-tandukku; sejak kemarin atmosfer perdebatan sudah mulai memenuhi waktu membacaku.

57 hari tepatnya aku berada disini, diruangan penuh dinding berlapis beton, kaca-kaca besar, serta jalanan aspal tanpa rumput hijau. Bukan tanpa cerita, aku menjalani hari-hariku sebagai mahasiswa baru jurusan ilmu politik dengan penuh ilusi. Sebaiknya ku wali dari mana semua ini? Dari semenjak orang tuaku meninggalkanku disini sendiri dan kemudian aku menangis? Atau Orientasi Mahasiswa yang membuat kepalaku stress? Atau dari mana sebaiknya aku bercerita?

Oh ya, kuceritakan apa yang perlu dunia catat tentang diriku saja. Seperti biasa, kisahnya akan saya buat fiksi namun kerap terjadi di lingkungan liberal ini.

Perlu pembaca ketahui kalau teman-teman kelasku tidak seperti yang dulu ku harapkan sejak bertekad untuk masuk kesini. Dulu ku pikir akan mendapatkan teman-teman yang kritis, suka berdiskusi dan menjadi lawan debatku dalam setiap forum-forum. Namun realita menjungkir balikkan segala pengharapanku selama ini, sialaaaaan.

Bayangkan sebuah kisah baru dalam hidupmu dan yakinlah. Pusatkan pikiranmu hanya pada saat-saat engkau memperoleh apa yang kau idamkan. Kekuatan ini akan membantumu meraih yang kau inginkan.

Begitulah pepatah para ahli bijak yang ku temukan semasa menjadi santri di garut dahulu, tapi nyatanya hal itu kini tidak berarti apa-apa buatku. Kecawa bukan main ketika tahu bahwa budaya diskusi di kampus ini mulai menghilang beberapa tahun terakhir, mungkin angkatanku yang paling paraah.

“mereka tidak mau berjalan? Kalau begitu biarlah mereka berdiam diri saja untuk waktu yang lama.”pikirku dalam hati mengomentari teman sekelasku yang tidak peka dengan keadaannya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Politik. Akhir-akhir ini kita disikbukkan dengan banyaknya perdebatan senior tentang dunia islam terutama liberalisme dan fundamentalisme, atau qodariyat vs jabariyat.

Tapi perdebatan itu lebih baik daripada teman-temanku yang memilih kuliah pulang-kuliah pulang, apa mereka mau menghabiskan uang 3 juta dengan hanya duduk 5 jam di ruangan ber-AC dan kemudian pulang ke rumah? Apa ini yang namanya mahasiswa? Bukannya mau mengalahkan UI?

“orang yang tidak mau memilih dianggap mati di mata tuhan, meski dia masih bernafas dan berkeliaran di jalan-jalan.” Begitulah emosiku yang tidak bisa terluapkan sama sekali, kekesalan yang semakin hari menjadi-jadi. Ingin rasanya aku merubah keadaan, tapi siapakah aku?  selama aku disini (di kelas A jurusan Politik) mengapa aku tidak menemukan seorangpun yang mau membantuku mengusahakan kemajuan? Aku hanya seorang anak muda, sendirian pula. Apa pentingnya diriku?" Ujarku yang berusaha menghakimi diriku saat itu.

“Menurutmu apa pentingnya matahari yang bergerak sendirian di langit sana? Apa pentingnya gunung-gunung yang menjulang di tengah-tengah lembah sana? Apa pentingnya kehadiran pos satpam yang 12 jam dilalui ratusan kendaran para mahasiswa? Tapi justru merekalah yang menyeimbangkan siklus kehidupan ini, satu dari mereka tidak ada maka kau tidak akan berada disini” suara itu jelas ku dengar, sore itu di ruangan teman-temanku sudah pulang semuanya; tentu aku tidak tahu dari mana asal suara itu.

Tanpa diduga suara itu muncul lagi, kali ini aku yakin hatiku sedang menasehati diriku “kalau aku menyempatkan diri memikirkan alasanny, pada akhirnya aku akan merasa tak sanggup mewujudkan apa yang aku inginkan.”

Hari itu akhirnya ku yakinkan diriku untuk melakukan perubahan, bismillah. Hingga akhirnya hari esok tiba, setelah
pelajaran pertama selesai seseorang di sudut sana tidak ikut keluar dan pergi ke kantin, tumben bangett.  Ku coba untuk menegurnya, ada apa bro? (mencoba untuk mencairkan suasana).

“Tidak apa, aku hanya tidak mempunyai pekerjaan.” Sahut temanku yang berinisial R itu.

“Kalau begitu beejarlah pada sesuatu. Pada saat ini, banyak orang berhenti menjalani kehidupan. Mereka tidak marah, juga tidak berseru-seru memprotes; mereka sekedar menunggu waktu berlalu. Mereka tidak menerima tantangan-tantangan kehidupan, jadi kehidupanpun berhenti memberikan tantangan pada mereka. Kau juga mengambil resiko yang sama; tunjukan reaksi, hadapi hidup,tapi jangan pernah berhenti hidup.” Kataku so bijak dihadapannya.

“Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan diskusi liberal dan fundamentalis, kakak kelas seolah keren di mata mahasiswa baru ketika memperdebatkan itu. Tapi aku tanya Untuk apa kita belajar politik? Jika orang orang dikampus memperdebatkan masalah islam?” tanya dia, sepertinya aku tidak sendiri. Tuhan memberikan orang yang nantinya dapat menemaniku merubah kelas ini, setidaknya ada harapan setelah kemarin kegelapan menghantuiku.

“Aku mengerti, inilah yang kemarin ku pikirkan. Ada beberapa potong rel yang puutus dan kereta akhirnya keluar dari relnya, seperti itulah pembelajaran hari ini. Seharusnya kita fokus untuk merubah bangsa ini! Mempelajari politik untuk kemajuan bangsa ini. Cukuplah islam didiskusikan diluar kampus.” Jawabku yang sejak tadi setuju dengan dia.

“Tapi aku juga merasa minder mempelajari politik, korupsi merajalela dan koruptor semakin banyak. Adakah cara untuk menyembuhkan negeri ini? Aku yakin tidak ada.” Rasa pesimis itu percis seperti yang dikemukakan Wina di beberapa smsnya.

Aku diam tanpa suara, sekarang aku belum bisa menjawabnya. Setumpuk teori ada di kepalaku namun belum ku pikirkan bagaimana jalan keluar bangsa ini, aku bisa mengatakan “Ini hanya permasalahan orangnya saja, suatu saat kita tidak boleh seperti itu.” Tapi kupikir kembali kalau dia tidak akan puas dengan jawaban sederhana itu.

“Kenapa tuhan membuat negeri kita seperti ini? Bukankah ulama masih banyak? Apa yang salah dari Indonesia sehingga dia memberikan azab yang tidak ada solusinya?” pertanyaannya semakin banyak,membuatku sulit untuk menjawa mana dulu yang di prioritaskan.

“Terakhir tolong jawab pertanyaanku, kenapa kau berjuang untuk bangsa ini? Apa yang dia berikan padamu? Bukankan negara sudah dipenuhi pengusaha-pengusaha yang rakus? Bukankah mereka tidak akan menilaimu kecuali dari hartamu? Apa yang kau bela? Sudah tidak adalagi cara kawan.” Pertanyaannya semakin mengarah dekat dijantungku, tanpa ada jawaban kemudian dia meninggalkanku dan sekarang keadaannya terbalik, aku merenungkan beberapa pertanyaannya. Sialaaan, dia malah membuatku pesimis.

Akhirnya pada hari berikutnya aku jawab serinci mungkin, karena dikala malam tuhan selalu mengajariku banyak hal bahkan menunjukan padaku apa yang seharusnya ku katakan dan ku ucapkan. perhatikan ini.....

Kenapa ada korupsi?
Tuhan pasti sudah berusaha menggunakan cara-cara lain, tapi ternyata kita tidak mau mendengar. Kita sudah terlalu terbiasa dengan hidup kita, dan tidak mau lagi membaca sabda-sabdanya. Maka korupsi adalah salah satu cara membuat kita berada di posisi sama yaitu korban.
Dimanakah dia menuliskan sabda-sabdanya?Di dunia sekitar kita, kalau engkau memperhatikan apa-apa yang terjadi didalam hidupmu, setiap hari akan kau temukan dimana dia menyembunyikan sabda-sabdanya dan kehendaknya. Cobalah melakukan perintahnya; untuk itulah engkau diberikan kehidupan di dunia ini.
Aku tidak ingin membicarakan perbedaan-perbedaan kita, aku lebih tertarik pada kesamaan kita. Tragedi ini telah menyatukan kita dalam satu rasa; putus asa.
Kalian dan aku sama-sama rakyat biasa, tapi kalian juga bisa bertindak sebagai penjuang. dan pejuang selalu tahu apa yang layak diperjuangkan. Dia tidak akan maju perang demi hal-hal yang bukan urusannya, dan dia tidak membuang waktu untuk provokasi-provokasi.
Pejuang juga bisa menerima kekalahan. Dia tidak menganggap enteng kekalahan,  juga tidak berusaha mengubahnya menjadi kemenangan. Dia menelan kepahitan akibat kekalahan; dia menderita melihat sikap masa bodoh dan putus asa karena kesepian. Namun setelah semua itu berlalu, dia akan bangkit kembali dan memulai segalanya dari awal.
Pejuang tahu bahwa pejuang terdiri atas banyak pertempuran; dan dia akan terus maju.
Kau tanya kenapa aku membela negri yang pincang dan pemerintah yang busuk ini, aku jawab,
Aku mesti menunjukan kepada kalian, semua temanku, orang tuaku, guru dan juga para penguasa  yang ada disana bahwa ada alasan untukku mempertahankan bangsa ini. Bukan demi mempertahankan sebuah nama kampus, jalanan macet, ataupun istana presiden yang sudah dibangun mewah. Aku  mesti menghadapi koruptor karena aku mesti memberi teladan bagi semua orang yang akan ikut berjuang bersamaku serta keturunanku yang akan ikut memperjuangkan masa depan bangsa ini jika aku harus meninggal sebelum kemenangan tiba. 

Aku melakukannya untuk menunjukan pada kalian teman-temanku, bahwa masih ada masa depan. Dan kita akan melakukannya untuk menunjukan pada rakyat indonesia bahwa masa lalu sudah lewat.

0 komentar:

Posting Komentar

Please Comment!!