Doktrin yang kerap kita dapatkan seolah tidak pernah lekang. Masih
ingat shoe hok gie saat mengatakan jika
“guru bukanlah dewa yang selalu
benar”
Jadi siapa guru?? Haruskah ku ulangi kalau guru hanya sebagai tukang
pos..
Rasanya kalian sudah lebih pintar untuk memutar memori pembahasan guru
sebelumnya. Tapi ada sebuah fakta dan realita yang lagi-lagi entah kita sadari
atau tidak tapi yang jelas guru buat pelajar hari ini masih seolah dewa yang
tidak pernah salah dan kita pembantu yang selalu mengangguk saat apapun yang di
perintah majikan.
Kita tidak bisa mengatakan tidak pada guru karena tukut, malu atau hal
lain yang jelas membuat alur kritis kita terhambat.
Suatu ketika dalam pembelajaran sekolah. Waktu ini sang guru
benar-benar membuatku jengkel dengan ulahnya yang seenaknya kepada teman kami
yang jelas-jelas dia polos bahkan di kehidupan sehari-haripun dia selalu
mendapat sindiran dengan berbagai sebutan yeng mencela dia sebagai seorang
manusia pada umumnya. Ditambah pak guru ini.
System pembelajaran yang salah di cubit sehingga bukan main cubitannya
membuat lubang baru di badan kami. Belum lagi tingkahnya yang tidak lepas
mengejek salah anak-anak satu demi satu sehingga suasan kelas benar-benar
tegang dan psikologi mental kami yang mulai drop alias hanya bisa mengangguk.
Sehabis pembelajarannya yaitu saat anak-anak istirahat, saya coba
memulai pembahasan.
“bapak maaf… bukannya saya lancang.”
(Ujarku pada sang guru yang
cukup tua)
“ada apa emangnya??”
Sahutnya dengan mata yang cukup tajam memandangku.
“bisakah bapak sedikit lebih lembut kepada kami”
Pintaku yang mulai memelas karena sebuah pembelaan.
“kenapa?? Bukannya dari tadi kita sama-sama tertawa. Dan itu cukup
meramaikan suasana”
“buat sebagian iya tertawa, tapi buat yang tertindas mana bisa tertawa
pak. Mungkin bapak belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di kelas kami. Dari
dulu sampai sekarang kami belum pernah dapat guru sperti bapak, jadi sekarang
cukup membuat kami bengong. Jadi bisakan bapak sedikit lembut.”
“bukannya bagus kalau saya berbeda dari guru sebelumnya yang terlihat
lemas dan kurang tegas. Kita ini pesantren dan harus tegas.”
“sangat bagus pak sebanarnya.. cuman kali ini objeknya gak sesuai pak!
Seandainya bapak meresakan dalam posisi murid yang bapak tadi tekan mentalnya
sedangkan bpak menuntut kami hafal pelajaran bapak. Jelas tidak akan terjadi
karena kami harus menghapal dalam keadaan menegangkan apalagi jika salah kami
mendapat hukuman lahir maupun batin.”
“kamu maunya apa….”
(tiba-tiba nada pak guru mulai naik dan membuat saya semakin gemetar,
tapi apa boleh buat semuanya tanggung kulakukan.)
“sekali lagi maaf pak kalau menyinggung… saya Cuma menyalurkan aspirasi
anaak-anak tentang kesan tadi ketika pembelajaran”
“iya… tapi kamu merasa sok jago dengan menasehati saya!!!”
(wah..wah..wah..keadaan mulai kacau ni.)
Ooh tidak bel masuk berbunyi dan anak-anak berangsur-angsur masuk ke
kelas. Tapi keadaan belum berakhir sampai disitu dan harus ku selesaikan.
“bukan begitu pak.. sekali lagi saya benar-benar minta maaf kalau
menyinggung. Kami Cuma ingin kita belajar nyaman baik dari bapak maupun kami.
Ya mungkin saat sesi pertanyaan jarang ada orang yang tidak bisa menjawab
karena suasna tidak tegang. Kayaknya itu ideal dan lebih enak pa.” ujarku yang
mulai menenangkan suasana sehingga anak-anak mulai memperhatikan kami yang dari
tadi tidak selesai berdialog.
“kamu ini mendikte saya… orang lain tidak ada yang pernah mengatakan
itu kepada saya. Lancang kamu jadi anak.”
Jawab sang bapak dengan tangan yang menarik bajuku kemudian mendorongku
ke dekat dinding sehingga posisi kami benar-benar kacau.
(waduh,, ngajakin berantem ni orang. Tapi tidak mungkin itu ku lakukan.
Tapi ini kelewatan uijarku karena anak-anak hanya melihat bukannya membatu.
Akhirnya ku usahakan melepaskan tanggannya dengan kelembutan sambil berkata.)
“bapaak.. sekali lagi saya minta maaf banget. Iya sudahlah kalau itu
emang jawaban bapak. Saya mengalah Cuma mungkin ini sekedar pemberitahuan saja
pak.”
“kamu ini… lancang jadi anak.” Masih dalam nada keras.
Saya tidak ingin berkata apapun kecuali maaf terakhir dari saya sambil
meraih tangannya untuk mengajak salam.
Akhirnya saya mencoba keluar dan ternyata saat saya keluar pak guru
tersebut mebicarakan saya depan anak-anak. Hari itu memang melelahkan buat saya
yang genap 14 tahun. Siialll ujarku, bukannya menyelesaikan masalah tapi malah
membuat sang guru mengejekku di belakang.
Fenomena dewa itu masih terjadi dalam rutinitas pelajar hari ini. Saat
bajuku ditarik dan tubuhku di dorong mendekati dinding, tidak ada sama sekali
yang melerai kami atau berusaha mengehentikan aksi sang guru tersebut. Image
sang guru masih Nampak seseorang yang tidak mempunyai kesalahan sehingga kita
sungkan melakukan kebaikan yang seharusnya tanpa takut atau malu sekalipun.
Okelah kalau guru masih kita jadikan dewa, tapi kenapa kita massih
menganggapnya tukang pos yang membantu kita mendapatkan kebahagian?? Atau si
pengantar jembatan agar kita sampai kesebrang??
Sepertinya, realita berbicara
“Guru adalah DEWA dengan pekerjaan
TUKANG POS”
Sadar atau tidak itu realita yang terjadi di zaman hari ini.
Tapi saya buat saya.

0 komentar:
Posting Komentar
Please Comment!!