Kamis, 24 Januari 2013

Dewa si Tukang Pos

Doktrin yang kerap kita dapatkan seolah tidak pernah lekang. Masih ingat shoe hok gie saat mengatakan jika

 “guru bukanlah dewa yang selalu benar”

Jadi siapa guru?? Haruskah ku ulangi kalau guru hanya sebagai tukang pos..
Rasanya kalian sudah lebih pintar untuk memutar memori pembahasan guru sebelumnya. Tapi ada sebuah fakta dan realita yang lagi-lagi entah kita sadari atau tidak tapi yang jelas guru buat pelajar hari ini masih seolah dewa yang tidak pernah salah dan kita pembantu yang selalu mengangguk saat apapun yang di perintah majikan.

Kita tidak bisa mengatakan tidak pada guru karena tukut, malu atau hal lain yang jelas membuat alur kritis kita terhambat.

Suatu ketika dalam pembelajaran sekolah. Waktu ini sang guru benar-benar membuatku jengkel dengan ulahnya yang seenaknya kepada teman kami yang jelas-jelas dia polos bahkan di kehidupan sehari-haripun dia selalu mendapat sindiran dengan berbagai sebutan yeng mencela dia sebagai seorang manusia pada umumnya. Ditambah pak guru ini.

System pembelajaran yang salah di cubit sehingga bukan main cubitannya membuat lubang baru di badan kami. Belum lagi tingkahnya yang tidak lepas mengejek salah anak-anak satu demi satu sehingga suasan kelas benar-benar tegang dan psikologi mental kami yang mulai drop alias hanya bisa mengangguk.

Sehabis pembelajarannya yaitu saat anak-anak istirahat, saya coba memulai pembahasan.

“bapak maaf… bukannya saya lancang.”
 (Ujarku pada sang guru yang cukup tua)

“ada apa emangnya??”
Sahutnya dengan mata yang cukup tajam memandangku.

“bisakah bapak sedikit lebih lembut kepada kami”
Pintaku yang mulai memelas karena sebuah pembelaan.

“kenapa?? Bukannya dari tadi kita sama-sama tertawa. Dan itu cukup meramaikan suasana”

“buat sebagian iya tertawa, tapi buat yang tertindas mana bisa tertawa pak. Mungkin bapak belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di kelas kami. Dari dulu sampai sekarang kami belum pernah dapat guru sperti bapak, jadi sekarang cukup membuat kami bengong. Jadi bisakan bapak sedikit lembut.”

“bukannya bagus kalau saya berbeda dari guru sebelumnya yang terlihat lemas dan kurang tegas. Kita ini pesantren dan harus tegas.”

“sangat bagus pak sebanarnya.. cuman kali ini objeknya gak sesuai pak! Seandainya bapak meresakan dalam posisi murid yang bapak tadi tekan mentalnya sedangkan bpak menuntut kami hafal pelajaran bapak. Jelas tidak akan terjadi karena kami harus menghapal dalam keadaan menegangkan apalagi jika salah kami mendapat hukuman lahir maupun batin.”
“kamu maunya apa….”
(tiba-tiba nada pak guru mulai naik dan membuat saya semakin gemetar, tapi apa boleh buat semuanya tanggung kulakukan.)

“sekali lagi maaf pak kalau menyinggung… saya Cuma menyalurkan aspirasi anaak-anak tentang kesan tadi ketika pembelajaran”

“iya… tapi kamu merasa sok jago dengan menasehati saya!!!”
(wah..wah..wah..keadaan mulai kacau ni.)

Ooh tidak bel masuk berbunyi dan anak-anak berangsur-angsur masuk ke kelas. Tapi keadaan belum berakhir sampai disitu dan harus ku selesaikan.

“bukan begitu pak.. sekali lagi saya benar-benar minta maaf kalau menyinggung. Kami Cuma ingin kita belajar nyaman baik dari bapak maupun kami. Ya mungkin saat sesi pertanyaan jarang ada orang yang tidak bisa menjawab karena suasna tidak tegang. Kayaknya itu ideal dan lebih enak pa.” ujarku yang mulai menenangkan suasana sehingga anak-anak mulai memperhatikan kami yang dari tadi tidak selesai berdialog.

“kamu ini mendikte saya… orang lain tidak ada yang pernah mengatakan itu kepada saya. Lancang kamu jadi anak.”  Jawab sang bapak dengan tangan yang menarik bajuku kemudian mendorongku ke dekat dinding sehingga posisi kami benar-benar kacau.

(waduh,, ngajakin berantem ni orang. Tapi tidak mungkin itu ku lakukan. Tapi ini kelewatan uijarku karena anak-anak hanya melihat bukannya membatu. Akhirnya ku usahakan melepaskan tanggannya dengan kelembutan sambil berkata.)

“bapaak.. sekali lagi saya minta maaf banget. Iya sudahlah kalau itu emang jawaban bapak. Saya mengalah Cuma mungkin ini sekedar pemberitahuan saja pak.”

“kamu ini… lancang jadi anak.” Masih dalam nada keras.

Saya tidak ingin berkata apapun kecuali maaf terakhir dari saya sambil meraih tangannya untuk mengajak salam.

Akhirnya saya mencoba keluar dan ternyata saat saya keluar pak guru tersebut mebicarakan saya depan anak-anak. Hari itu memang melelahkan buat saya yang genap 14 tahun. Siialll ujarku, bukannya menyelesaikan masalah tapi malah membuat sang guru mengejekku di belakang.

Fenomena dewa itu masih terjadi dalam rutinitas pelajar hari ini. Saat bajuku ditarik dan tubuhku di dorong mendekati dinding, tidak ada sama sekali yang melerai kami atau berusaha mengehentikan aksi sang guru tersebut. Image sang guru masih Nampak seseorang yang tidak mempunyai kesalahan sehingga kita sungkan melakukan kebaikan yang seharusnya tanpa takut atau malu sekalipun.

Okelah kalau guru masih kita jadikan dewa, tapi kenapa kita massih menganggapnya tukang pos yang membantu kita mendapatkan kebahagian?? Atau si pengantar jembatan agar kita sampai kesebrang??

Sepertinya, realita berbicara

“Guru adalah DEWA dengan pekerjaan TUKANG POS”

Sadar atau tidak itu realita yang terjadi di zaman hari ini.
Tapi saya buat saya.

“guru BUKANLAH DEWA tapi berusaha menjadi DEWA”



0 komentar:

Posting Komentar

Please Comment!!