Hari ini aku kembali menjamah rutinitasku yang selama ini ku
tinggalkan; beberapa tugas seolah membatasi ruang kreatifitasku dalam menulis;
sabarlahh... mahasiswa baruu. Haha
Kini saatnya aku menyusun setiap huruf dan kata yang
berserakan dikampus dan pekarangan baja aspalnya. Kota baru yang aku jejali ini
mulai merespon tindak-tandukku; sejak kemarin atmosfer perdebatan sudah mulai
memenuhi waktu membacaku.
57 hari tepatnya aku berada disini, diruangan penuh dinding
berlapis beton, kaca-kaca besar, serta jalanan aspal tanpa rumput hijau. Bukan tanpa
cerita, aku menjalani hari-hariku sebagai mahasiswa baru jurusan ilmu politik dengan
penuh ilusi. Sebaiknya ku wali dari mana semua ini? Dari semenjak orang tuaku
meninggalkanku disini sendiri dan kemudian aku menangis? Atau Orientasi
Mahasiswa yang membuat kepalaku stress? Atau dari mana sebaiknya aku bercerita?
Oh ya, kuceritakan apa yang perlu dunia catat tentang diriku
saja. Seperti biasa, kisahnya akan saya buat fiksi namun kerap terjadi di
lingkungan liberal ini.
Perlu pembaca ketahui kalau teman-teman kelasku tidak
seperti yang dulu ku harapkan sejak bertekad untuk masuk kesini. Dulu ku pikir
akan mendapatkan teman-teman yang kritis, suka berdiskusi dan menjadi lawan
debatku dalam setiap forum-forum. Namun realita menjungkir balikkan segala
pengharapanku selama ini, sialaaaaan.
Bayangkan sebuah kisah baru dalam hidupmu dan yakinlah. Pusatkan
pikiranmu hanya pada saat-saat engkau memperoleh apa yang kau idamkan. Kekuatan
ini akan membantumu meraih yang kau inginkan.
Begitulah pepatah para ahli
bijak yang ku temukan semasa menjadi santri di garut dahulu, tapi nyatanya hal
itu kini tidak berarti apa-apa buatku. Kecawa bukan main ketika tahu bahwa
budaya diskusi di kampus ini mulai menghilang beberapa tahun terakhir, mungkin
angkatanku yang paling paraah.
“mereka tidak mau berjalan? Kalau begitu biarlah mereka
berdiam diri saja untuk waktu yang lama.”pikirku dalam hati mengomentari teman
sekelasku yang tidak peka dengan keadaannya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu
Politik. Akhir-akhir ini kita disikbukkan dengan banyaknya perdebatan senior
tentang dunia islam terutama liberalisme dan fundamentalisme, atau qodariyat vs
jabariyat.
Tapi perdebatan itu lebih baik daripada teman-temanku yang
memilih kuliah pulang-kuliah pulang, apa mereka mau menghabiskan uang 3 juta
dengan hanya duduk 5 jam di ruangan ber-AC dan kemudian pulang ke rumah? Apa ini
yang namanya mahasiswa? Bukannya mau mengalahkan UI?
“orang yang tidak mau memilih dianggap mati di mata tuhan,
meski dia masih bernafas dan berkeliaran di jalan-jalan.” Begitulah emosiku
yang tidak bisa terluapkan sama sekali, kekesalan yang semakin hari
menjadi-jadi. Ingin rasanya aku merubah keadaan, tapi siapakah aku? selama aku disini (di kelas A jurusan Politik)
mengapa aku tidak menemukan seorangpun yang mau membantuku mengusahakan
kemajuan? Aku hanya seorang anak muda, sendirian pula. Apa pentingnya diriku?" Ujarku
yang berusaha menghakimi diriku saat itu.
“Menurutmu apa pentingnya matahari yang bergerak sendirian
di langit sana? Apa pentingnya gunung-gunung yang menjulang di tengah-tengah
lembah sana? Apa pentingnya kehadiran pos satpam yang 12 jam dilalui ratusan
kendaran para mahasiswa? Tapi justru merekalah yang menyeimbangkan siklus
kehidupan ini, satu dari mereka tidak ada maka kau tidak akan berada disini”
suara itu jelas ku dengar, sore itu di ruangan teman-temanku sudah pulang
semuanya; tentu aku tidak tahu dari mana asal suara itu.
Tanpa diduga suara itu muncul lagi, kali ini aku yakin
hatiku sedang menasehati diriku “kalau aku menyempatkan diri memikirkan
alasanny, pada akhirnya aku akan merasa tak sanggup mewujudkan apa yang aku inginkan.”
Hari itu akhirnya ku yakinkan diriku untuk melakukan
perubahan, bismillah. Hingga akhirnya hari esok tiba, setelah pelajaran
pertama selesai seseorang di sudut sana tidak ikut keluar dan pergi ke kantin,
tumben bangett. Ku coba untuk
menegurnya, ada apa bro? (mencoba untuk mencairkan suasana).
“Tidak apa, aku hanya tidak mempunyai pekerjaan.” Sahut temanku
yang berinisial R itu.
“Kalau begitu beejarlah pada sesuatu. Pada saat ini, banyak
orang berhenti menjalani kehidupan. Mereka tidak marah, juga tidak berseru-seru
memprotes; mereka sekedar menunggu waktu berlalu. Mereka tidak menerima
tantangan-tantangan kehidupan, jadi kehidupanpun berhenti memberikan tantangan
pada mereka. Kau juga mengambil resiko yang sama; tunjukan reaksi, hadapi
hidup,tapi jangan pernah berhenti hidup.” Kataku so bijak dihadapannya.
“Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan diskusi liberal dan
fundamentalis, kakak kelas seolah keren di mata mahasiswa baru ketika
memperdebatkan itu. Tapi aku tanya Untuk apa kita belajar politik? Jika orang
orang dikampus memperdebatkan masalah islam?” tanya dia, sepertinya aku tidak
sendiri. Tuhan memberikan orang yang nantinya dapat menemaniku merubah kelas
ini, setidaknya ada harapan setelah kemarin kegelapan menghantuiku.
“Aku mengerti, inilah yang kemarin ku pikirkan. Ada beberapa
potong rel yang puutus dan kereta akhirnya keluar dari relnya, seperti itulah
pembelajaran hari ini. Seharusnya kita fokus untuk merubah bangsa ini! Mempelajari
politik untuk kemajuan bangsa ini. Cukuplah islam didiskusikan diluar kampus.” Jawabku
yang sejak tadi setuju dengan dia.
“Tapi aku juga merasa minder mempelajari politik, korupsi
merajalela dan koruptor semakin banyak. Adakah cara untuk menyembuhkan negeri
ini? Aku yakin tidak ada.” Rasa pesimis itu percis seperti yang dikemukakan
Wina di beberapa smsnya.
Aku diam tanpa suara, sekarang aku belum bisa menjawabnya. Setumpuk
teori ada di kepalaku namun belum ku pikirkan bagaimana jalan keluar bangsa
ini, aku bisa mengatakan “Ini hanya permasalahan orangnya saja, suatu saat kita
tidak boleh seperti itu.” Tapi kupikir kembali kalau dia tidak akan puas dengan
jawaban sederhana itu.
“Kenapa tuhan membuat negeri kita seperti ini? Bukankah ulama
masih banyak? Apa yang salah dari Indonesia sehingga dia memberikan azab yang
tidak ada solusinya?” pertanyaannya semakin banyak,membuatku sulit untuk
menjawa mana dulu yang di prioritaskan.
“Terakhir tolong jawab pertanyaanku, kenapa kau berjuang
untuk bangsa ini? Apa yang dia berikan padamu? Bukankan negara sudah dipenuhi
pengusaha-pengusaha yang rakus? Bukankah mereka tidak akan menilaimu kecuali
dari hartamu? Apa yang kau bela? Sudah tidak adalagi cara kawan.” Pertanyaannya
semakin mengarah dekat dijantungku, tanpa ada jawaban kemudian dia
meninggalkanku dan sekarang keadaannya terbalik, aku merenungkan beberapa
pertanyaannya. Sialaaan, dia malah membuatku pesimis.
Akhirnya pada hari berikutnya aku jawab serinci mungkin,
karena dikala malam tuhan selalu mengajariku banyak hal bahkan menunjukan
padaku apa yang seharusnya ku katakan dan ku ucapkan. perhatikan ini.....
Kenapa ada korupsi?
Tuhan pasti sudah berusaha menggunakan cara-cara lain,
tapi ternyata kita tidak mau mendengar. Kita sudah terlalu terbiasa dengan
hidup kita, dan tidak mau lagi membaca sabda-sabdanya. Maka korupsi adalah
salah satu cara membuat kita berada di posisi sama yaitu korban.
Dimanakah dia menuliskan sabda-sabdanya?
Di dunia sekitar kita, kalau engkau memperhatikan apa-apa
yang terjadi didalam hidupmu, setiap hari akan kau temukan dimana dia
menyembunyikan sabda-sabdanya dan kehendaknya. Cobalah melakukan perintahnya;
untuk itulah engkau diberikan kehidupan di dunia ini.
Aku tidak ingin membicarakan perbedaan-perbedaan kita,
aku lebih tertarik pada kesamaan kita. Tragedi ini telah menyatukan kita dalam
satu rasa; putus asa. Kalian dan aku sama-sama rakyat biasa, tapi kalian juga bisa
bertindak sebagai penjuang. dan pejuang selalu tahu apa yang layak
diperjuangkan. Dia tidak akan maju perang demi hal-hal yang bukan urusannya,
dan dia tidak membuang waktu untuk provokasi-provokasi.
Pejuang juga bisa menerima kekalahan. Dia tidak
menganggap enteng kekalahan, juga tidak
berusaha mengubahnya menjadi kemenangan. Dia menelan kepahitan akibat
kekalahan; dia menderita melihat sikap masa bodoh dan putus asa karena
kesepian. Namun setelah semua itu berlalu, dia akan bangkit kembali dan memulai
segalanya dari awal. Pejuang tahu bahwa pejuang terdiri atas banyak
pertempuran; dan dia akan terus maju.
Kau tanya kenapa aku membela negri yang pincang dan pemerintah
yang busuk ini, aku jawab,
Aku mesti menunjukan kepada kalian, semua temanku, orang
tuaku, guru dan juga para penguasa yang
ada disana bahwa ada alasan untukku mempertahankan bangsa ini. Bukan demi
mempertahankan sebuah nama kampus, jalanan macet, ataupun istana presiden yang
sudah dibangun mewah. Aku mesti
menghadapi koruptor karena aku mesti memberi teladan bagi semua orang yang akan
ikut berjuang bersamaku serta keturunanku yang akan ikut memperjuangkan masa
depan bangsa ini jika aku harus meninggal sebelum kemenangan tiba.
Aku melakukannya untuk menunjukan pada kalian teman-temanku,
bahwa masih ada masa depan. Dan kita akan melakukannya untuk menunjukan pada
rakyat indonesia bahwa masa lalu sudah lewat.