Senin, 30 Juni 2014

Aku bukan Loyalis Prabowo, AKU INI LOYALIS dari PROSES PEMIKIRAN

Ayah, apakah kosakata Satire lebih tepat dari Archipelago saat menggambarkan Indonesia? entahlah ayah, di negeri yang dulu ayah bangun dengan setumpuk keyakinan dan segenggam harapan kini justru terapung di negeri awan dengan berjuta khayalan yang tidak mungkin dicapai. Ayah, tinggal 10 hari lagi Pemimpin Negara ini ditentukan. Bagaimana caraku memilih satu diantara mereka? Sedang dalam kampanye orang begitu sibuk menyublim kelebihan  dan menampakkannya di media, sedang kekurangannya menguap sampai tidak terperi.

Ayah awalnya aku menyukai Jokowi, sangat yakin ayah, sampai isu miring terhadap dirinya pasti kucoba untuk melawan. Tapi, sejak beberapa minggu setelah Pileg 2014 ku sadari bahwa pilihanku harus didasari dengan pemahaman yang mengeras menjadi keyakinan. Kuhabiskan berminggu-minggu membaca buku, berita, koran, mendownload artikel, video, bahkan bertanya kepada senior dan tokoh lainnya. Jauh sebelum kampanye Prabowo soal ekonomi Kerakyatan atau Jokowi perihal ekonomi berdikari, dan tentu sebelum Jokowi menegaskan Revolusi mental. Ayah, aku tidk habis pikir banyak dari teman-temanku yang sibuk dengan isu kampanye, apa mereka tidak dapat berpikir diruang hampa dan melintasi waktu?

Ayah, aku pilih Prabowo bukan karena dia sepertimu meski jauh di dalam diriku terdapat rasa cinta yang luar biasa terhadap sosokmu. Ayah, aku belum ingin bicara Prabowo tapi temanku ayah. Temanku yang mulai hilang idealisme dan semangat analisis, atau aku yang sok idealis menolak materi demi tergadainya integritas dan idealisme? ayah, apa salah aku mencoba untuk teguh pada pendirian dan menolak untuk digadai? Apakah salah aku mencontoh Nabi Muhammad yang tidak menggadai agama meski matahari ditangan kanan dan bulan ditangan kiri, kini bukan berarti ku bela Prabowo sampai mati tapi yang aku bela adalah proses dan hasil analisisku yang takkan ku gadai hanya karena materi atau apapun. Mahasiswa, oh mahasiswa, dulu hitam berkeringat dan lebam tapi kini bertengger di samping jalan dengan rokok menggantung dan tertawa mendapatkan hasil project.

Kau tahu kan ayah? Kalau anakmu ini senang berdebat dan membuat keonaran, semalam aku berdebat dengan temanku ayah, teman yang luar biasa dengan pemikiran barunya. Dalam perdebatan aku tidak pernah meminta siapapun untuk mengikuti pendapatku, aku hanya ingin menguji pemahamanku. Andaikan aku kalah berdebat tentang Prabowo, itu artinya aku sendiri tidak paham dengan prabowo atau memang aku salah memilih Prabowo. Itu yang aku cari ayah, bukan hanya untuk melakukan ritual demokratis di kampus atau sengaja berkontemplasi, justru sekedar menguji dan membuat keramaian di tengah busuknya otak yang tidak dipakai berpikir.

Betapa bersyukurnya aku kini, sejak dahulu IPM dan Muhammadiyah mengajari doktrin idealisme “hidup hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.” Dan kini ayah, aku ingin berjuang untuk negeriku, menghidupi Negeriku, sedang kalau ditanya darimana aku bisa hidup? Aku jawab kalau dari Tuhanku lah rizki diturunkan. Ayah, aku ingin membela pemikiran dan hasil ijtihadku, tentu tanpa imbalan. Kini ku buktikan dengan membela capres pilihanku Prabowo Subianto, dan setiap hari aku sibukkan membaca berita dan mengklarifikasi setiap isu negatif yang teman-temanku arahkan pda Prabowo, dan masih banyak hal yang aku lakukan untuk mengabdi pada Negara dan pada pemikiranku.


Aku tidak menjadi Loyalis Prabowo, AKU INI LOYALIS dari PROSES PEMIKIRAN yang kebetulan mengantarkanku untuk mendukung PRABOWO SUBIANTO.

0 komentar:

Posting Komentar

Please Comment!!