Ayah, apakah kosakata Satire lebih tepat dari Archipelago saat
menggambarkan Indonesia? entahlah ayah, di negeri yang dulu ayah bangun dengan
setumpuk keyakinan dan segenggam harapan kini justru terapung di negeri awan
dengan berjuta khayalan yang tidak mungkin dicapai. Ayah, tinggal 10 hari lagi
Pemimpin Negara ini ditentukan. Bagaimana caraku memilih satu diantara mereka? Sedang
dalam kampanye orang begitu sibuk menyublim kelebihan dan menampakkannya di media, sedang
kekurangannya menguap sampai tidak terperi.
Ayah awalnya aku menyukai Jokowi, sangat yakin ayah, sampai isu
miring terhadap dirinya pasti kucoba untuk melawan. Tapi, sejak beberapa minggu
setelah Pileg 2014 ku sadari bahwa pilihanku harus didasari dengan pemahaman
yang mengeras menjadi keyakinan. Kuhabiskan berminggu-minggu membaca buku,
berita, koran, mendownload artikel, video, bahkan bertanya kepada senior dan
tokoh lainnya. Jauh sebelum kampanye Prabowo soal ekonomi Kerakyatan atau
Jokowi perihal ekonomi berdikari, dan tentu sebelum Jokowi menegaskan Revolusi
mental. Ayah, aku tidk habis pikir banyak dari teman-temanku yang sibuk dengan
isu kampanye, apa mereka tidak dapat berpikir diruang hampa dan melintasi
waktu?
Ayah, aku pilih Prabowo bukan karena dia sepertimu meski jauh di
dalam diriku terdapat rasa cinta yang luar biasa terhadap sosokmu. Ayah, aku
belum ingin bicara Prabowo tapi temanku ayah. Temanku yang mulai hilang
idealisme dan semangat analisis, atau aku yang sok idealis menolak materi demi
tergadainya integritas dan idealisme? ayah, apa salah aku mencoba untuk teguh
pada pendirian dan menolak untuk digadai? Apakah salah aku mencontoh Nabi
Muhammad yang tidak menggadai agama meski matahari ditangan kanan dan bulan
ditangan kiri, kini bukan berarti ku bela Prabowo sampai mati tapi yang aku
bela adalah proses dan hasil analisisku yang takkan ku gadai hanya karena
materi atau apapun. Mahasiswa, oh mahasiswa, dulu hitam berkeringat dan lebam
tapi kini bertengger di samping jalan dengan rokok menggantung dan tertawa
mendapatkan hasil project.
Kau tahu kan ayah? Kalau anakmu ini senang berdebat dan membuat keonaran,
semalam aku berdebat dengan temanku ayah, teman yang luar biasa dengan
pemikiran barunya. Dalam perdebatan aku tidak pernah meminta siapapun untuk
mengikuti pendapatku, aku hanya ingin menguji pemahamanku. Andaikan aku kalah
berdebat tentang Prabowo, itu artinya aku sendiri tidak paham dengan prabowo
atau memang aku salah memilih Prabowo. Itu yang aku cari ayah, bukan hanya
untuk melakukan ritual demokratis di kampus atau sengaja berkontemplasi, justru
sekedar menguji dan membuat keramaian di tengah busuknya otak yang tidak
dipakai berpikir.
Betapa bersyukurnya aku kini, sejak dahulu IPM dan Muhammadiyah
mengajari doktrin idealisme “hidup hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari
kehidupan di Muhammadiyah.” Dan kini ayah, aku ingin berjuang untuk negeriku,
menghidupi Negeriku, sedang kalau ditanya darimana aku bisa hidup? Aku jawab
kalau dari Tuhanku lah rizki diturunkan. Ayah, aku ingin membela pemikiran dan
hasil ijtihadku, tentu tanpa imbalan. Kini ku buktikan dengan membela capres
pilihanku Prabowo Subianto, dan setiap hari aku sibukkan membaca berita dan
mengklarifikasi setiap isu negatif yang teman-temanku arahkan pda Prabowo, dan
masih banyak hal yang aku lakukan untuk mengabdi pada Negara dan pada
pemikiranku.
Aku tidak menjadi Loyalis Prabowo, AKU INI LOYALIS dari PROSES
PEMIKIRAN yang kebetulan mengantarkanku untuk mendukung PRABOWO SUBIANTO.
0 komentar:
Posting Komentar
Please Comment!!