Kamis, 24 Januari 2013

Apakah kami masih pantas berlabel Muhammadiyah


Apakah kami masih pantas berlabel Muhammadiyah? Ayah, maafkan kami....
Oh tidak, tanganku tiba-tiba berani menuliskan kalimat-kalimat yang selama ini aku bendung dalam kesendirian dan asa pemberontakan. Entahlah aku merasakan sesuatu hal yang sungguh perih dan tak mampu untuk ku hilangkan. (widihhh lebay juga gue ternyata)

Tempatku ini (darul arqam), diluar dugaan mulai keluar dari kaidah yang sebenarnya (menurutku, gapapalah kobe juga). Sambil memandangi santri yang mulai tidak lagi terlihat santrinya, mereka melantunkan bait demi bait kriminalisme. “anjing, goblok, babi” begitulah kurang lebih lirik yang mereka lantunkan dari waktu ke waktu, jargon ini sungguh semerbak dikalangan santri, seolah dibuat oleh penyair yang lebih pintar dari Tuhan. Karena Alquran yang merupakan karya Tuhan mulai tercampakan.

Bel berbunyi.... Langkah santri yang tegak tanpa takut sedikitpun, bukan pergi ke kelas melainkan semangatnya memburu gool demi gool, mereka lebih memilih bola dibanding masa depan tempat ini. sebagian yang lain tidak beranjak sedikitpun dari ranjang empuknya, seolah terlelap dalam gelapnya cahaya Tuhan.

“Rabbizidnii ilman...” serentak pembelajaranpun dimulai. Untuk mereka yang sangat kecil pengikutnya mulai membuka buku pelajaran, namun mayoritas membuka handphone lalu menyalakan twitter dan BBM yang selalu dibanggakannya sebagai lahan bisnis dan sosial komunikasi.

“hore, Pa..... tidak hadir” suasana ramai dengan kesenangan yang luar biasa, berlari meninggalkan kelas menuju warung dan lapangan, serta tidak sedikit yang kembali terlelap dalam imajinasi sialnya. Menyisakan 5 orang bahkan 2 orang di kelas. Mereka yang mengejar mimpi teramat tersingkirkan dibanding mereka yang menjauhi mimpi

“Anjiiiingggg kereeeenn,” bangga rasanya tanpa dosa yang dirasa ketika menyaksikan adegan film-film action di sela-sela kesibukan dalam rutinitas padat ini.
Kesombongan dimasa muda meluluhlantakan harapan para ayah yang menanti diluar sana dengan pengharapan tinggi yang luarbiasa, sebenarnya aku malu membesikan pada temanku bahwa aku masih seorang santri. Sialnya, mereka semua tahu kalau aku berasal dari tempat dimana para peria memakai kalung dan gelang sebagai style yang amat di agungkan, kopeah amat lusuh tak terbantahkan.

Lebarannya santri masih membeli baju oblong dan jacket yang bergambar tengkorak, entah bagaimana mereka berbicara pada orangtuanya. Santri memang Peloby yang handal dalam urusan ini.
Kepala sekolah dengan keras dan tegasnya menghukum aktivis yang bolos gara-gara kegiatan bermanfaat. Namun alangkah lembek dan cukup membuatku tertawa saat para pejabat itu melenggangkan kakinya dengan tenag melewati lapangan basket yang dipenuh santri pembolos, bahkan pejabat itu diam tanpa kata saat para santrinya pergi meninggalkan pelajaran untuk sebuah pertunjukan Band Rock ataupun hura-hura menonton permainan persib dengan teriakan yang sudah diluar batas norma.  Memangnya apa definisi bolos itu? Dan bagaimana indikator untuk menghukum?

“Allahu akbar” kalimat suci yang diperdengarkan untuk mengajak sholat membuat sebagian dari kita memilih mandi dan lebih parahnya ada yang menghisap tumpukan bako. Para sendekiawan yang meperdebatkan tentang tumpukan bako sebenarnya tidak memberikan dampak bagi tempat ini, karena justru kita memilih tumpukan bako itu lebih utama dibanding panggilan Tuhan.
Maaf ayah, apa kami masih pantas bernafaskan islam ataupun Muhammadiyah? Apakah ayahanda mau memungut kami dari sampah jalanan kota? Apakah ayahanda tidak malu dengan ulah kami? Maaf ayah, kami salah. Kami mungkin telah hina dihadapan banyaknya makhluk mulia.
Ayah.... kami ingin pergi menghadiri pagelaran MILAD MUHAMMADIYAH  tapi 2 hal menghalangi kami. Pertama sekolah ini masih bimbang dengan jalan kemuhammadiyahannya sehingga kami mungkin tidak akan diizinkan untuk pergi ke Gelora Bung Karno bertemu saudara seperjuangan kami, aku pikir jika alasannya mengganggu sekolah , apa memang sekolah dan tidak sekolah akan membuat perubahan bagi Tempat ini? Kedua kami malu dengan kondisi ini yang mengacuhkan Muhammadiyah. Kami seolah tidak sadar kalau kami anak ayahanda.

“Apa tempat ini masih ada 10 tahun kedepan?” guruku berujar dengan keriput dahinya seolah bingung dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Sialnya semua ini, aku mulai muak. Ingin berontak namun apa daya tubuh ini bukan siapapun.
Kenapa juga aku memikirkan ini?  pemikiran yang seharusnya dirasakan oleh para pejabat dan leader yang bersangkutan.... aku, aku dan aku. Sial, apa kau puas tuhanku? Aku terkulai dengan ketidapastian serta kebimbangan.

Sebuah puisi dari aku yang bukan siapa-siapa namun sialnya merasakan ini
Sejujurnya saya begitu marah
Kecewa memang
Realita menantangku dengan asa dilema yang luar biasa
Aku mungkin mengeluh, karena kelebihan yang kupunya membuat aku merasakan
Hancurnya tempatku ini
Lebih baik aku telat atau
Tidak merasakan hal ini sama sekali

Kenapa harus saya yang merasakan ini dengan kepedihan yang mendalam?
Kenapa?
Saya bukan leader lagi,
Saya bukan siswa teladan,
Saya bukan makhluk fenomenal sekalipun
Kenapa?
Lihat mereka...
Begitu nyaman dengan rutinitas dugunya tanpa kegalauan

Lihat sebelah sana...
Dia duduk menonton tanpa takut karma

Sebelah sana juga..
Kaki mereka riang menendang bola tanpa takut pimpinan

Bahkan lihat dihadapanmu...
Menciumi uang dengan pikiran dangkal dan amat picik,


Dan aku belum lelah untuk menulis,
Tetap perhatikan dan jangan palingkan mata butamu itu
Aku masih merangkai satu demi satu kegalauan yang terngiang
Apa mereka mabuk?
Sehingga tidak merasakan gempa sebagai pertanda tsunami.

Dimana leader yang terhormat itu?
Dimana guru yang selalu benar itu?
Dimana musid prestasi yang selalu dipanggil kedepan dengan piala megahnya?
Dan dimana kau yang mengaku agamawan?

Tidaklah kau rasakan jalanan ini pahit
Kerikil ini tajam
Tanah ini licin dan usang
Apa kau masih ingin diam,hah?
Atau kau akan tertawa melihat aku tersingkir?

BANGSAT!! TeNGOK AKU SELAGI KAU MAMPU

BIAR KUPUKUL DAHIMU HINGGA HABIS DARAHMU YANG HINA ITU!!
Oh,Tuhan
Apa tempat ini terlahir untuk musnah?
Apa riwayat keagungan ini akan pudar?
Dan apakah aku akan kalah dan tak mungkin merubah??

-K’noya”
The Jungle of Thinkers...

0 komentar:

Posting Komentar

Please Comment!!