Garut, 16 september 2011
pukul 02.48 dini hari di gedung sekolah
tepatnya
“saya luthfi hasanal
bolqiah, tidak mau menjadi ketua umum tapi siap untuk menanggung amanat
tersebut.”
Serentak suara tepuk tangan
itu membisingkan suasana yang tegang dalam sidang pemilihan struktur
kepemimpinan periode selanjutnya. Mengapa tidak 1 jam lebih 30 menit
berlangsung hanya untuk memilih seorang ketua umum di tingkat ranting atau
sekolah, rupanya jarang sekali itu terjadi jika tidak dikalangan nasional.
Komentar kritik yang terbaca
pedas terlontar dari sang presedium sidang (pemimpin sidang) yang menghujat
karakteristikku yang tidak lolos dalam kriteria ketua umum.
Si pintar yang menjadi rengking satu di kelasnya,
Si sholeh yang pergi kemasjid pertama kali,
Si rajin yang membuat guru terpana karenanya,
Si ganteng yang di perhatikan semua orang,
Sama sekali itu bukan
diriku. Namun kriteria itu adalah syarat mutlak yang di lontarkan sang
presedium sidang padaku jika memang aku siap jadi Ketua IPM. Sekarang, who is I??
Aku bukan si pintar yang tidak pernah menginginkan untuk menjadi orang
yang pintar,
Aku bukan si rajin yang terpandang dikalangan guru hingga pujiannya tak
luput,
Aku bukan si sholeh yang tepat waktu dan berada di barisan pertama
untuk melaksanakan ibadah,
Apalagi aku bukan si ganteng yang menjadi pusat perhatian semua orang,,
Ahhh siaall,,
Sulit untuk ku lakukan hal
itu, dan itu bukan bagian dari hidupku yang sebenarnya. Tapi di sudut lain
anak-anak memberikan kepercayaan itu padaku karena kekurangan itu yang ku
optimalkan menjadi sebuah kekuatan besar.
Dengan tidak menjadi orang
pintar aku dekat dengan orang yang terhitung kurang. Dengan tidak menjadi orang
yang shaleh aku bisa dekat dengan mereka yang tersisihkan dan diasingkan karena
dianggap manusia yang tidak dalam fitrahnya. Dengan tidak menjadi si rajin juga
waktuku banyak dimanfaatkan untuk menegenali karakteristik orang lain dan
membantu orang lain menyelesaikan permasalahan. Dan dengan tidak menjadi orang
ganteng tidak ada orang yang menganggapku ekslusif atu kecil hati di hadapanku.
Sungguh dengan kekurangan
itu aku menjadi diri sendiri. Senyum mereka adalah kebahagian yang sempurna
buatku, sungguh obat dari setiap permasalahan dan hirup pikuknya dunia.
Persyaratan itu jelas bukan
hanya dari sang presidium saja tapi bahkan dari para guru dan pembina pun
mengharapkan seperti itu, singkatnya aku tidak tepat mereka harapkan dan mereka
tunggu-tunggu.
Semuanya menjadi sebuah
problema dilemats yang membuat pusing bukan main. Coba bayangkan, dulu aku
berjuang di oraganisasi dengan tekad dan methodeku sendiri tapi di sisi lain
aku harus menjadi hal yang berlawanan serta menghilangkan baju lamaku.
Semuanya serba salah, aku
yang disuruh menjadi ketua tapi dengan kondisi yang “di kurung di kandang malaikat”.
Mau tidak mau aku harus berpakaian putih dan bersayap tapi apa daya aku tetap
manusia pada umumnya.
Kenapa relita selalu
bertolak belakang dengan prinsip yang di pegang sebelumnya??
Sialll ujarku. Huh
Kesimpulanku saat itu
berakhir dengan berusaha mengukir senyuman di mereka walaupun terkadang aku
harus merintis perih karena luka hidup yang kitanggung. Tapi untuk mereka tidak
ada yang tak bisa kulakukan, kebahagian mereka ku gantungkan di pundakku.
Haruskah aku bekerja menjadi
artis seperti mereka yang memberi dalam keramaian dan mencela dalam kesunyian.
Haruskah menjadi munafik itu??
Sungguh bualan yang
membuatku berpikir berulang kali. Namun apa daya hal itu ku jalani hingga
akhirnya aku katakan kalau “inilah aku” yang apa adanya bukan seperti mereka.
“meniru orang lain atau bahkan meniru kepemimpinan orang lain ada
kegagalan total yang sulit di rubah.”
Hari itu nada lantangku
mulai bercuap.
“IPM hari ini adalah apa
yang anda rasakan dan ketua IPM yang akan kau kenal adalah mereka yang menjadi
staffku. Noda kotor di bajuku karena kalian dan air mata kalian di malam hari
adalah tanggung jawabaku.”
Apa artinya??
Jika kita ingin menilai
keberhasilan organisasi, jangan pernah menyimpulkannya dengan melihat ketua
umum, tapi dampak yang terjadi dan dialami oleh objeknya. Maka begitu juga saat
anda mengenal ketua umum maka lihatlah staffnya.
Itu artinya seorang kapten
dalam tim sepak bola bukan hanya untuk striker tapi bisa di terima siapapun di
posisi manapun. Begitu juga pemimpin yang bukannya harus selalu menampilkan
diri dengan kebaikannya tapi dialah orang yang mampu mengatur dan menegenal
karakteristik staff serta nggotanya dengan daya analisis yang peka.
Apa noda kotor itu??
Bukan hanya hal yang nampak
jelas untuk membuktikan perjuanganku sebagai ketua tapi noda kotor di bajukupun
menjadi perjuanganku, apa itu?? Yaapp, baju itu kotor karena aku tidak punya
waktu mencucinya yang jelas waktuku habis untuk anggotaku yang menegur dan
meminta dialog pemecahan maslahnya.
Air mata kalian di malah hari??
Sedikit dan selecet apapun
anggota adalah tanggung jwabku dimanapun dia berada aku harus datang
menyelesaikan permaslahnnya. Yaaa,,, tanggung jawab dari sebuah amanat yang
amat pelik ku rasakan.
Next, lontaran nafasku
kembali bercuap...
“aku bekerja bukan untuk mata kalian tapi untuk apa yang kalian rasakan
dampaknya.”
Genius kawaan,, kamu benar.
Kalau hari ini saya bertekad
untuk menjadi diri saya sendiri, karena menjadi orang munafik adalah kesalahan
besar maka lebih baik untuk memikirkan objek kita, cobalah untuk fokus pada
mereka bukan pada penggalangan dan pencitraan nama personil.
Akhir penutup dari semuanya.
“jangan pernah kritik saya dengan perkataan kalain tapi sunggiuh dengan
pedang yang kalian asah setiap hari.”
0 komentar:
Posting Komentar
Please Comment!!