Kamis, 24 Januari 2013

Terkurung dalam penjara Malaikat

Garut, 16 september 2011 pukul 02.48  dini hari di gedung sekolah tepatnya
“saya luthfi hasanal bolqiah, tidak mau menjadi ketua umum tapi siap untuk menanggung amanat tersebut.”

Serentak suara tepuk tangan itu membisingkan suasana yang tegang dalam sidang pemilihan struktur kepemimpinan periode selanjutnya. Mengapa tidak 1 jam lebih 30 menit berlangsung hanya untuk memilih seorang ketua umum di tingkat ranting atau sekolah, rupanya jarang sekali itu terjadi jika tidak dikalangan nasional.

Komentar kritik yang terbaca pedas terlontar dari sang presedium sidang (pemimpin sidang) yang menghujat karakteristikku yang tidak lolos dalam kriteria ketua umum.

Si pintar yang menjadi rengking satu di kelasnya,
Si sholeh yang pergi kemasjid pertama kali,
Si rajin yang membuat guru terpana karenanya,
Si ganteng yang di perhatikan semua orang,

Sama sekali itu bukan diriku. Namun kriteria itu adalah syarat mutlak yang di lontarkan sang presedium sidang padaku jika memang aku siap jadi Ketua IPM.  Sekarang, who is I??

Aku bukan si pintar yang tidak pernah menginginkan untuk menjadi orang yang pintar,
Aku bukan si rajin yang terpandang dikalangan guru hingga pujiannya tak luput,
Aku bukan si sholeh yang tepat waktu dan berada di barisan pertama untuk melaksanakan ibadah,
Apalagi aku bukan si ganteng yang menjadi pusat perhatian semua orang,,

Ahhh siaall,,
Sulit untuk ku lakukan hal itu, dan itu bukan bagian dari hidupku yang sebenarnya. Tapi di sudut lain anak-anak memberikan kepercayaan itu padaku karena kekurangan itu yang ku optimalkan menjadi sebuah kekuatan besar.

Dengan tidak menjadi orang pintar aku dekat dengan orang yang terhitung kurang. Dengan tidak menjadi orang yang shaleh aku bisa dekat dengan mereka yang tersisihkan dan diasingkan karena dianggap manusia yang tidak dalam fitrahnya. Dengan tidak menjadi si rajin juga waktuku banyak dimanfaatkan untuk menegenali karakteristik orang lain dan membantu orang lain menyelesaikan permasalahan. Dan dengan tidak menjadi orang ganteng tidak ada orang yang menganggapku ekslusif atu kecil hati di hadapanku.

Sungguh dengan kekurangan itu aku menjadi diri sendiri. Senyum mereka adalah kebahagian yang sempurna buatku, sungguh obat dari setiap permasalahan dan hirup pikuknya dunia.

Persyaratan itu jelas bukan hanya dari sang presidium saja tapi bahkan dari para guru dan pembina pun mengharapkan seperti itu, singkatnya aku tidak tepat mereka harapkan dan mereka tunggu-tunggu.

Semuanya menjadi sebuah problema dilemats yang membuat pusing bukan main. Coba bayangkan, dulu aku berjuang di oraganisasi dengan tekad dan methodeku sendiri tapi di sisi lain aku harus menjadi hal yang berlawanan serta menghilangkan baju lamaku.

Semuanya serba salah, aku yang disuruh menjadi ketua tapi dengan kondisi yang “di kurung di kandang malaikat”. Mau tidak mau aku harus berpakaian putih dan bersayap tapi apa daya aku tetap manusia pada umumnya.

Kenapa relita selalu bertolak belakang dengan prinsip yang di pegang sebelumnya??

Sialll ujarku. Huh

Kesimpulanku saat itu berakhir dengan berusaha mengukir senyuman di mereka walaupun terkadang aku harus merintis perih karena luka hidup yang kitanggung. Tapi untuk mereka tidak ada yang tak bisa kulakukan, kebahagian mereka ku gantungkan di pundakku.

Haruskah aku bekerja menjadi artis seperti mereka yang memberi dalam keramaian dan mencela dalam kesunyian. Haruskah menjadi munafik itu??

Sungguh bualan yang membuatku berpikir berulang kali. Namun apa daya hal itu ku jalani hingga akhirnya aku katakan kalau “inilah aku” yang apa adanya bukan seperti mereka.

“meniru orang lain atau bahkan meniru kepemimpinan orang lain ada kegagalan total yang sulit di rubah.”

Hari itu nada lantangku mulai bercuap.

“IPM hari ini adalah apa yang anda rasakan dan ketua IPM yang akan kau kenal adalah mereka yang menjadi staffku. Noda kotor di bajuku karena kalian dan air mata kalian di malam hari adalah tanggung jawabaku.”

Apa artinya??

Jika kita ingin menilai keberhasilan organisasi, jangan pernah menyimpulkannya dengan melihat ketua umum, tapi dampak yang terjadi dan dialami oleh objeknya. Maka begitu juga saat anda mengenal ketua umum maka lihatlah staffnya.
Itu artinya seorang kapten dalam tim sepak bola bukan hanya untuk striker tapi bisa di terima siapapun di posisi manapun. Begitu juga pemimpin yang bukannya harus selalu menampilkan diri dengan kebaikannya tapi dialah orang yang mampu mengatur dan menegenal karakteristik staff serta nggotanya dengan daya analisis yang peka.

Apa noda kotor itu??
Bukan hanya hal yang nampak jelas untuk membuktikan perjuanganku sebagai ketua tapi noda kotor di bajukupun menjadi perjuanganku, apa itu?? Yaapp, baju itu kotor karena aku tidak punya waktu mencucinya yang jelas waktuku habis untuk anggotaku yang menegur dan meminta dialog pemecahan maslahnya.

Air mata kalian di malah hari??
Sedikit dan selecet apapun anggota adalah tanggung jwabku dimanapun dia berada aku harus datang menyelesaikan permaslahnnya. Yaaa,,, tanggung jawab dari sebuah amanat yang amat pelik ku rasakan.

Next, lontaran nafasku kembali bercuap...
“aku bekerja bukan untuk mata kalian tapi untuk apa yang kalian rasakan dampaknya.”

Genius kawaan,, kamu benar.
Kalau hari ini saya bertekad untuk menjadi diri saya sendiri, karena menjadi orang munafik adalah kesalahan besar maka lebih baik untuk memikirkan objek kita, cobalah untuk fokus pada mereka bukan pada penggalangan dan pencitraan nama personil.

Akhir penutup dari semuanya.
“jangan pernah kritik saya dengan perkataan kalain tapi sunggiuh dengan pedang yang kalian asah setiap hari.”


0 komentar:

Posting Komentar

Please Comment!!